Minggu, 08 November 2009

Misteri Apel

Buah apelSella namanya. Ia sangat suka apel. Malah, dia memiliki sebatang pohon apel yang ranum. Batangnya kokoh dan tebal. Ia selalu menantikan musim panen apel, di mana pohon apelnya bertambah rimbun akan buah-buah apel yang merah, lezat, dan segar.

Hari ini, Sella terburu-buru memasuki pagar rumahnya yang terbuat dari kayu jati dan tingginya hanya sebahunya. Lalu, ia menatap pohon apelnya dengan senyuman lebar. Ya, waktunya pesta apel malam ini!

Hari ini, Jum’at, adalah awal musim apel yang amat dinantikan Sella. Sella segera memasuki pintu dapur dan menyapa Ibunya, “Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikum salam. Kok, buru-buru gitu, Sella?” tanya Ibu lembut. Sella segera masuk ke dalam kamarnya dan mengganti seragamnya dengan baju lengan panjang sesiku warna biru cerah dan celana jins selutut dengan bordir di pinggirannya.

“Ayo pesta apel, Bu!” sahut Sella sembari membawa keranjang rotan kecil. Ia memetik lima buah apel. Setelah dihitungnya dengan ekstra teliti, buah apel di pohonnya ada 26 buah. Setelah dipetiknya lima, tentu saja apelnya tinggal 21 buah! Sella sudah tidak sabar untuk mengunyah pai apel dan meneguk jus apel yang super duper lezatnya.

Sella duduk di bangku kayu panjang yang menghadap kebunnya. Kebun mini yang isinya : sebatang pohon apel, deretan bunga kamboja jepang, dua pot bunga tulip, dan lima jemani yang harganya masih membumbung tinggi. Sella menggigit apelnya. Hmm... lezat! pikirnya.

“Sella, kok makan apel, sih. Makan dulu, dong. Ibu sudah siapkan cap cay kesukaanmu. Terus ada telur orak arik juga! Favoritmu kan, wortel yang diiris tipis-tipis,” panggil Ibu dari dapur yang jaraknya dekat.

“Oke, Bu!” Sella segera membawa keranjang rotannya ke dalam rumah. Ibu memasukkan apel yang dipetik Sella ke dalam kulkas. Sella duduk di kursi meja makan menghadap piring berisi nasi dengan lauk telur orak-arik yang menggiurkan.

Sella makan dengan lahap. Setelah itu, ia membaca buku yang tadi diajarkan dan belajar untuk pelajaran esok. Setelah mengerjakan PR-nya, Sella mandi, sholat, lalu menonton teve sampai adzan magrib berkumandang.

Esoknya, Sella bersiap-siap. Ia mengecek tasnya, kalau-kalau ada yang lupa. Ibu menyiapkan sarapan dengan lauk ayam goreng, sayur sop, dan semangkuk kecil sambal terasi. Sella makan dengan lahap, lalu menyikat gigi sebentar dan mengenakan kaus kaki dan sepatunya.

“Lho, kok, buah apelku tinggal 15? Bukankah kemarin 21?” gumamnya. “Ibu, Ayah, apakah Ibu atau Ayah memetik enam buah apelku?”

“Tidak. Coba teliti lagi, atau hanya halusinasimu saja. Kamu kadang kurang teliti!” kata Ibu.

Sella bergidik ketakutan. “Apa yang mencuri apelku itu hantu, ya?”

“Hush! Tidak ada yang namanya hantu. Mungkin bukan hantu yang mencuri, tapi anak-anak nakal. Pasti suatu hari mereka minta maaf padamu,” jawab Ibu tegas.

Selama di sekolah, Sella merasa tidak enak. Ia terus memikirkan apelnya. Kalau hanya sebuah tidak apa-apa. Tapi, ini enam, pikirnya dengan jantung berdebar kencang.

Malamnya, Sella sengaja ingin tidur lebih malam, karena ini malam Minggu. Ayah dan Ibu menonton film di tv. Sella membuka sedikit gorden jendela di kamarnya. Lalu, ia melihat kira-kira sepuluh ekor burung sedang mendekati pohon apelnya. Burung-burung itu sangat cantik. Lalu, mereka memakan buah apel Sella. Sella membelalak melihatnya.

Ternyata yang memakan buah apelku itu para burung, gumam Sella. Ayah mengintip Sella. Sebenarnya Ayah dan Ibu ingin menghadiahkan burung untuk Sella karena ia telah masuk tiga besar di kelas. Lalu, Ayah masuk ke garasi dan mengambil kotak yang tertutup kain lusuh warna putih yang sudah pudar.

“Sella... KEJUTAN!!!” seru Ayah dan Ibu mengejutkan Sella. Sella menoleh. Lalu, Ayah memberikan kotak itu pada Sella. Sella takut membukanya.

“Cuit! Cuit!” Sella menatap takjub apa isi kotak berwarna hijau itu. Seekor burung parkit berwarna hijau yang sangat manis.

“Terima kasih, Ayah, Ibu!” seru Sella gembira.

Kejujuran Jati

Jati mengusap peluh yang bercucuran di dahinya. Setelah satu jam lamanya ia berkeliling komplek perumahan untuk menawarkan barang dagangannya, ia berhasil mengumpulkan beberapa lembar rupiah. Sudah tiga hari ini, Jati berjuang keras untuk mengisi liburan sekolahnya dengan berjualan susu kedelai buatan ibunya. Ia berkeliling komplek perumahan yang tak jauh dari kampungnya. Ia belum akan kembali ke rumah sebelum semua dagangannya laku terjual.. sekilas terbayang raut muka memelas wajah Asih, adik satu-satunya.


Jati memang ingin mengumpulkan uang sekedar untuk membelikan obat adiknya, yang kini terbaring lemah tak berdaya. Hanya itu yang bisa dilakukan Jati, mengingat Ayahnya yang bekerja sebagai buruh serabutan tak mampu membawa Asih ke Dokter apalagi Rumah Sakit. Pernah suatu ketika Asih dibawa ke Rumah Sakit karena penyakit radang paru-paru yang dideritanya. Namun, belum sampai tuntas pengobatannya Asih harus segera dibawa pulang karena tak kuat menanggung biaya Rumah Sakit yang begitu mahalnya.


" Alhamdulillah, daganganku laris hari ini. Susu kedelai buatan Ibu memang luar biasa " Gumam Jati, setelah itu ia menghitung lembaran rupiah yang berhasil ia kumpulkan hari ini. " Dua puluh ribu, Yess! Itu artinya aku masih bisa menyisihkan uang untuk membeli obat buat Asih. Sabar ya dik, Aku akan senantiasa berdo'a dan berusaha untuk kesembuhanmu. Supaya kita bisa kembali bermain, belajar, mengaji abatatsa di Mushala, Ustadz Ahmad pun tentu sudah kangen dengan celotehmu yang lugu dan lucu "

Jati terus berjalan menyusuri komplek perumahan menuju rumahnya. " ini adalah hari yang menyenangkan bagiku, susu kedelai buatan ibu terjual habis. Sore nanti aku akan kembali berkeliling, menjajakan minuman kesehatan buatan ibuku tersayang. Dan siang ini aku masih bisa bermain layang-layang bersama Sufyan. Sungguh liburan yang paling menyenangkan "


Ditengah-tengah perjalanan menuju kampungnya, kaki Jati menyampar sebuah dompet. "Ups,.. dompet siapa ini?" tanya Jati keheranan. Dengan gemetar ia membuka isinya. "Masyaallah, uang??!!" Jati semakin terperanjat kaget karena bisa dipastikan ia tak pernah memegang atau memiliki uang sebanyak ini. Kepala Jati menoleh kanan dan kiri, tak ditemuinya seorang pun. Keringat panas dingin mendadak bercucuran dari dahi Jati. "ah... aku tak pernah memegang uang sebanyak ini" gumamnya. "lalu milik siapa ini?!". Buru-buru jati menyimpan dalam plastik hitam yang ia bawa. bergegas ia berlari menuju rumahnya hendak bercerita kepada Ibunya.

Di sepanjang perjalanan, Jati terus membayangkan seandainya ia punya uang sebanyak ini tentu ia dan keluarganya tak perlu bersusah payah bekerja demi kesembuhan Asih. Pikirannya berbisik, "Ambillah uang itu, toh tidak ada yang tahu kalau kamu menemukan uang itu. Tak usah dikembalikan kepada pemiliknya. Pasti ia orang kaya dan bisa dengan mudah mencari uang lagi. Sedangkan kamu, waktu liburan saja kau gunakan untuk berkeliling komplek perumahan demi selembar uang dua puluh ribuan. Ayo ambillah". Batin Jati terus bergejolak mendadak Jati segera beristighfar. "Astaghfirullah, mengapa aku memiliki pikiran sepicik ini. Bukankah uang ini bukan milikku, meski aku yang menemukannya dan tak seorangpun tahu ". semakin keras Jati ayunkan langkah menuju rumahnya.

"Assalamu'alaikum" ucap Jati ketika memasuki gubuk tuanya. "Wa'alaikum salam" jawab Ibunya. "Bu, Ibu, aku menemukan ini bu" ucap jati kepada Ibunya, yang tengah berdiri membukakan pintu. "Kenapa tho Le, koq teriak-teriak dan kamu terlihat pucat sekali" jawab Ibunya. "Aku menemukan dompet bu" ungkap Jati. "Dimana?" tanya Ibu dengan nada keheranan. "Di komplek perumahan sepulang aku berjualan bu, dan jumlahnya aku belum sempat menghitung tapi kupikir banyak sekali" Ibu terkejut mendangar cerita Jati. Dengan terengah-engah Jati melanjutkan ceritanya. "aku tidak tahu bu, dompet ini milik siapa. Dan aku belum sempat membuka seluruh isinya, aku takut bu di tengah-tengah seluruh keterbatasan kita, kita menjadi gelap mata dan ingin memiliki yang bukan hak kita. Maka aku bergegas kembali kerumah untuk bercerita kepada Ibu. Ini bu dompetnya." Jati memberikan bungkusan plastik hitam kepada ibunya.

Ibu sangat terkejut ketika melihat isinya. "Masyaallah, pasti yang punya merasa sangat kehilangan uang ini Le. Coba kamu lihat dan cari identitas atau tanda pengenal dalam dompet itu" sergah Ibu Jati. "baik bu" Jati menimpali. "Ini bu, ada KTP tertera nama dr.Heryawan SpOG alamatnya di Jl. Melati Blok C Nomer 5A Perum Limas. Pasti dompet ini miliknya bu" jawab Jati. "Baiklah mari kita segera kerumahnya, pasti dokter Heryawan sangat kehilangan".


Bergegas Ibu Jati mematikan kompor di dapurnya. "Air ini sudah mendidih dan nasi sudah tersedia kalau nanti bapakmu pulang dan kita tidak dirumah semua sudah terhidang. Ibu akan menitip pesan kepada Asih biar nanti ia menyampaikan kita sedang kerumah dokter Heryawan". Tukas Ibu Jati. Dengan sigap ia memberesi seluruh pekerjaan di dapurnya. "Tapi Bu," Ucap Jati. "kenapa? Apa yang kamu pikirkan Jati?" sergah Ibunya. "kita kan, bisa mengambil beberapa lembar saja dari uang itu, toh pemiliknya juga pasti dengan mudah akan mencarinya lagi, toh pasti ia orang kaya" dengan terbata Jati berucap.


"Istighfar Jati, Allah pasti akan marah jika kita melakukan hal ini. Ingatlah ini bukan milik kita, bukan hak kita, meskipun kita sangat membutuhkannya. Ayolah bergegas kita kerumah pemilik dompet ini, sebelum siang datang menjelang, karena ibu masih harus menyiapkan susu kedelai untuk kamu jual lagi sore ini" Ucap ibunya dengan nada tinggi.
"Astagfirullah, baiklah Bu" Jawab Jati dengan nada penuh sesal.

Jati dan ibunya berjalan menuju komplek perumahan Limas untuk mencari alamat dokter Heryawan. Bukan hal yang sulit bagi Jati dan Ibunya untuk menemukan rumah dokter Heryawan, toh hampir seluruh komplek perumahan ini sudah pernah dijajahi Jati.

"Ini pasti rumahnya bu, dr. Heryawan Jl. Melati Blok C Nomer 5A Perum Limas. Wah bagus sekali rumahnya, asri dan sangat bersih"

"Assalamu'alaikum" Ibu Jati mengucapkan salam. Tak lama kemudian dibukakanlah pintu dan datanglah seorang bapak berkacamata. "Wa'alaikum salam, ada yang bisa saya bantu bu, anda mencari siapa?" tanyanya. "Apakah ini benar rumah dokter Heryawan?" tanya Ibu Jati. "Betul Bu, saya dokter Heryawan, silahkan masuk dan silahkan duduk" jawab dokter Heryawan.
"Terimakasih" Jati dan Ibunya masuk kerumah dokter Heryawan. Mata jati tak henti hentinya memandang kesekeliling ruang tamu dokter Heryawan.

"Begini Pak, Anak saya, Jati pagi tadi ketika pulang dari berjualan menemukan dompet ini Pak, dan didalamnya ada identitas nama bapak dan sejumlah uang yang kami tidak membuka seluruh isinya" ucap ibu Jati memberikan penjelasan kepada dokter itu.
"Oh Iya, Alhamdulillah. Benar bu, saya kehilangan dompet pagi tadi. Isinya identitas saya dan beberapa surat-surat penting. Berarti Nak Jati ini yang menemukan" ungkap dokter Heryawan.
"Betul Pak, tak sengaja sepulang berjualan keliling komplek ini, kaki saya menyampar sesuatu ternyata dompet" ungkap Jati menjelaskan.

"Ini Pak, dompetnya" Ucap ibu Jati sambil menyerahkan bungkusan plastik hitam berisi dompet.
"Iya benar sekali, ini milik saya, Alhamdulillah masih rezeki saya. Isinya juga masih utuh. Terimakasih banyak ya, Nak Jati dan Ibu, berkat nak Jati dompet saya dan surat-surat penting itu masih utuh". ucap dokter Heryawan dengan nada syukur.
"Sebelumnya, saya boleh tahu Ibu rumahnya dimana? Dan nak Jati berjualan apa keliling komplek ini?" tanya dokter Heryawan.
"Saya sekeluarga tinggal di kampung sebelah pak, tidak jauh dari komplek perumahan ini. Dirumah saya membuat susu kedelai untuk dijual Jati di sekitar komplek ini". Jawab Ibu Jati

"Baiklah Pak, kami segera pamit" ucap ibu Jati.
"Tunggu sebentar bu" dokter Herywan masuk kedalam dan keluar dengan membawa bungkusan plastik berwarna hitam. "Ini ada sekedar oleh-oleh buat keluarga Ibu dirumah dan ini buat nak Jati" dokter Heryawan menyerahkan bungkusan platik hitam kepada Ibu dan menyerahkan amplop kepada Jati.
"Tak usah repot-repot Pak, ini sudah kewajiban kami" jawab Ibu Jati sambil berpamitan.
"Tidak apa-apa bu, sekedar ucapan terimakasih. Dan saya akan sangat senang jika ibu bersedia menerimanya. Jangan lupa sering-seringlah bertandang kerumah ini."
"Baiklah Pak, terimakasih kami akan segera berpamitan pulang" jawab Ibu
"Ya bu terimakasih kembali. Tapi sebentar bu, biar saya antarkan pulang" ucap dokter Heryawan.
"Tidak usah Pak, khawatir merepotkan saja. Sekali lagi terimakasih. Rumah kami tidak terlalu jauh koq. Assalamu'alaikum " bergegas Jati dan Ibunya berpamitan.

Disepanjang perjalanan Jati tak henti-hentinya bersyukur dan berucap terimakasih. Bukan karena lantaran amplop yang ia terima tadi. Tetapi ia lebih bersyukur karena dikaruniai sesosok ibu yang luar biasa. "Terimakasih ya Allah, engkau karuniakan aku seorang ibu yang baik, yang akan terus mendidik, membesarkan dan mengingatkanku ketika salah serta menuntunku dalam menjalani hidup ini" Gumam Jati penuh syukur.

Namanya Toti

Pada suatu siang, di tengah hari yang terik, tampaklah seorang anak kecil berjalan gontai. Bajunya kusut, basah dimana-mana karena peluh yang menetes deras dari sekujur tubuhnya. Napasnya agak terengah – engah. Sesekali kepalanya menengok ke kiri dan ke kanan, tetapi kepala itu lebih sering menunduk, seolah-olah dia sedang menghitung jumlah kerikil di jalan yang sedang dia lewati. Ketika berjalan tangannya agak terayun sedikit, kedua tangan itu menggantung agak lunglai, tidak membawa apa-apa, seolah-olah tangan yang sudah kosong itupun sudah berat untuk dibawa kemana-mana.

Di pundak kanannya menggantung seutas tali, tali sebuah tas sekolah. Tas sekolahnya diselempangkan dari pundak kanan ke pinggang kiri. Tas itu bergoyang-goyang seiring dengan langkahnya, langkah yang terbebani oleh beban tas sekolah yang berat.


Jalan yang sedang dia lewati saat itu berdebu, kering kerontang, pohon yang ada di pinggir jalan sedang meranggas. Sungai kecil yang ada di samping jalanpun tidak ada airnya. Sudah satu jam yang lalu
dia keluar dari halaman sekolahnya, tetapi langkahnya belum juga sampai ke rumahnya. Rumahnya masih jauh, masih diperlukan setengah jam lagi untuk sampai.


Air minum yang dibawanya sudah habis, dia habiskan saat istirahat kedua tadi. Menyesal rasanya, mengapa dia tadi menghabiskan air minumnya. Soalnya tadi dia haus berat, mau membeli minum tetapi uang sakunya sudah habis untuk membeli kue saat istirahat pertama tadi. Dia tadi sebenarnya sudah sadar untuk menghemat air minum, tetapi saat istirahat kedua tadi, cuaca sedang menuju mendung, langit sedang berjuang untuk menumpuk awan gelap. Tetapi ketika bel sekolah berbunyi tanda pulang, awan yang bertumpuk-tumpuk tadi sedang menghilang perlahan-lahan, terbang tersapu angin. Perkiraannya meleset, cuaca tidak jadi hujan bahkan mendungpun tidak, malah sebaliknya, panas terik.


Jarak dari rumah ke sekolahnya lumayan jauh, sekitar enam kilometer. Jarak sepanjang itu biasanya bisa ditempuh dalam satu jam bila berjalan dengan cepat. Tetapi siang itu terik, dan rasa haus serta lapar menderanya sehingga tidak mungkin bagi dia untuk berjalan cepat. Menyesal rasanya, mengapa rumahnya jauh dari sekolah.


Biasanya dia pulang dan pergi ke sekolah berjalan bersama-sama dengan teman sekampung, tetapi sekarang teman-temannya itu sudah mendahului pulang. Kalaulah tahu akan sendirian dan kehausan begini, maka menyesallah dia mengapa hari Minggu kemarin dia hanya bermain-main lupa belajar. Kalau hari Minngu itu dia mau belajar, maka dia tidak akan sengsara seperti sekarang ini. Kepanasan, kehausan dan jalan sendirian tiada teman.


Mala-petaka itu dimulai tadi saat jam pelajaran terakhir. Pak Toto, guru matematika kelas lima, sedang bersiap-siap untuk mengakhiri pelajaran hari itu. Dan beginilah pak Toto mengawali bencana itu;


”Anak-anak, ulangan yang hari Senin kemarin sudah bapak periksa. Ada yang bagus ada yang kurang bagus nilainya. Bagi anak-anak yang kurang bagus, bapak memberi kesempatan untuk memperbaiki nilai. Tetapi minggu depan kita sudah menghadapi ulangan semesteran, dan nilai ulangan harian sudah harus disetor sebelum ulangan semester berlangsung. Jadi ulangan perbaikan nilai harus segera dilaksanakan dalam minggu ini.”

”Tetapi sayangnya, mulai besok sampai minggu depan bapak tidak ada di sekolah, karena bapak akan mengikuti penataran di ibukota kabupaten. Jadi, ulangan perbaikan nilainya akan bapak laksanakan sekarang, setelah jam sekolah. Saya tahu kalian sudah lelah, tetapi nanti supaya kalian yang ikut ulangan bisa cepat pulang maka akan bapak beri soal yang tidak terlalu banyak.”


”Yang namanya akan bapak sebut berikut ini, adalah anak yang mendapat nilai bagus dan tidak perlu untuk memperbaiki nilai, oleh sebab itu boleh pulang. Jadi bagi yang bapak panggil namanya, boleh langsung berkemas dan pulang.”
”Agung, Arum, Awang, Bagus Pur, Bagus W, ...”


Pak Toto sudah menyebut belasan nama, dan sepertinya pak Toto sudah hampir habis membaca daftar nama itu, tetapi nama Toti belum juga disebut.

”Baiklah anak-anak, kalian yang tinggal di dalam kelas ini ialah yang harus melaksanakan ulangan perbaikan nilai. Sekarang sambil menunggu maka siapkan kertas kosong untuk ulangan, dan masukkan buku-buku kalian ke dalam tas.“


Benarlah, sampai dengan soal ulangan dibagikan, nama Toti tidak termasuk yang dipanggil untuk boleh pulang. Sedangkan Awang, Tari, Jono, ialah teman sekampungnya yang namanya dipanggil pak Toto.
Yang mengikuti ulangan perbaikan ada dua-belas orang. Dari kedua-belas orang itu, tidak ada satupun yang tinggal sekampung dengan Toti.


Tiba-tiba lamunannya buyar karena saat itu kaki Toti tertantuk batu. ”Aduuh! Dasar batu seenaknya sendiri saja tiduran di jalan!” Hati Toti dongkol bukan main. ”Sudah kepanasan, capek, lapar, haus, masih kesandung batu lagi,” gumam Toti.

Biasanya kalau sedang kepanasan saat pulang sekolah seperti saat itu, dia dan teman-temannya akan berteduh sebentar dibawah pohon. Tetapi sekarang tidak ada tempat untuk berteduh barang sejenak, tidak ada pohon yang merimbun daunnya. Semua pohon meranggas, tidak ada cukup tempat untuk berteduh dari panas terik matahari. Saat itu hujan sudah lima bulan tidak datang.


Setelah rasa sakit karena terantuk batunya hilang, Toti melanjutkan lamunannya lagi. ”Ah coba aku punya sepeda, pasti aku sudah sampai rumah sekarang. Ahh.. tidak-tidak, sepeda kurang cepat, masih harus dikayuh, bisa-bisa kelaparan juga aku.” ”Atau punya sepeda motor saja. Wah keren, tinggal putar gas. Ngeng..ngeng motorku kabur lewat jalan berdebu ini, He..he debunya beterbangan. Ngeng..... sampai rumah, langsung makan. Wah asyik. Tapi aku kan masih kecil, mana boleh naik sepeda motor?”


”Atau mobil, siapa yang akan nyetir ya? Hik..hik.. seperti si Nanang itu yang diantar jemput pakai mobil. Tapi dia kan anak pak Lurah. Lha bapakku? Sepeda saja tidak punya.” ”wah coba aku bisa bikin roket. Aku akan bikin pesawat sendiri, untuk pulang pergi ke sekolah. Naik roket, wuzz.. wuzz..ziiingngggg. Roketku melesat cepat. Cuma lima menit sudah sampai sekolah. Wuzz.. wuzz.. ziiinggg, lima menit sampai rumah lagi. Kalau istirahat pulang ke rumah, wuzz..wuzz..ziingg, sampai rumah ambil minum, makan, dan balik ke sekolah lagi. Wah asyiik....”

”Aduoohhh!!”
Tiba-tiba Toti mengaduh dengan keras. Dia memegang-megang jempol kakinya. Kakinya kesakitan. Dia mengerang-erang sambil terduduk di tepi jalan. Kakinya terantuk batu lagi.

*****************************************

Alarm Berbisik

AlarmShasa masih berbaring di tempat tidurnya sambil menatap kalender yang tergantung di dinding kamarnya. Mama baru saja keluar kamarnya setelah membangunkan dirinya. Tiba-tiba mata Shasa terbelalak. Hah?! Empat hari lagi mama ulang tahun! Aduuhh.. kok ia bisa lupa ya? Duh.. Shasa ingin memberi kejutan yang berkesan buat mama tapi apa ya? Sebuah ide melintas. Nanti sepulang sekolah ia akan menelepon papa di kantornya. Siapa tahu papa akan dapat memberinya ide. Tapi.. jangan sampai mama mendengar pembicaraan mereka. Itu artinya Shasa harus menunggu situasinya aman sebelum ia menelepon papa. Cepat-cepat Shasa bangkit dari tidurnya. Kalau ia berlama-lama, bisa-bisa waktu subuh sudah berlalu. Dari arah dapur tercium aroma nasi goreng yang menggugah selera. Hmmm.. sedaapp!

Hari itu kebetulan tidak ada jadwal kursus. Sepulang sekolah Shasa bisa sedikit bersantai sambil memerhatikan situasi. Ia harus memastikan mama tidak mendengar percakapannya dengan papa.

Tak lama kemudian dilihatnya mama masuk ke kamar mandi. Sreekk.. Sreekk.. rupanya mama sedang menyikat kamar mandi. Kesempatan yang dinantinya sudah tiba! Shasa langsung melompat dari tempat tidurnya. Dihubunginya papa yang sedang berada di kantor. Untung papa sedang tidak sibuk. Diceritakannya kepada papa perihal ulang tahun mama.

“Bagaimana kalau papa memasak buat mama?” tanya Shasa.

“Memasak?! Wah.. Papa kan tidak bisa memasak, Sha,” kata papa.

“Kalau begitu jalan-jalan ke luar kota saja,” usul Shasa.

“Lohh.. nanti Shasa bagaimana? Shasa mau di rumah sendirian? Hari ulang tahun mama kan bukan hari Sabtu atau Minggu,” kata papa.

Shasa menepuk dahinya. Benar juga yang dikatakan papa.

“Pesan bunga saja, Pa,” Shasa mengemukakan usul lain.

“Wah.. seperti di sinetron saja,” komentar papa.

Shasa tertawa mendengarnya. “Ya sudah kalau begitu papa belikan mama kado saja. Nanti di kartunya ditulis dari Shasa dan papa,” kata Shasa.

“Terus kadonya apa?” tanya papa.

“Apa ya, Pa?” Shasa balik bertanya.

“Bagaimana kalau nanti Papa sudah sampai rumah kita lanjutkan diskusi kita?” Papa mengajukan usul. “Sekarang Papa harus menyiapkan bahan untuk rapat dengan klien,” kata papa.

“Nanti mama bisa tahu rencana kita dong, Pa,” kata Shasa.

“Kita kan bisa curi-curi kesempatan,” papa menenangkan Shasa.

Shasa terkikik mendengarnya. Duhh.. ada-ada saja papa ini. Curi-curi kesempatan? Kok seperti judul sinetron saja.

Malam harinya, setelah melalui perdebatan seru antara Shasa dan papa, tercapai juga kata sepakat kejutan apa yang akan diberikan untuk mama yang akan berulang tahun. Papa dan Shasa akan menyiapkan sarapan untuk mama. Menunya Roti Bakar yang dalamnya ditaburi meises dan susu kental. Bagian luarnya diberi parutan keju dan ditambahkan susu kental. Minumnya teh hijau kesukaan mama. Hmmm.. Membayangkannya saja sudah membuat air liur Shasa menetes.

Untuk memuluskan rencana mereka, Shasa sengaja merayu mama menemaninya tidur.

“Biasanya Shasa tidur sendiri di kamar Shasa. Kenapa malam ini minta ditemani?” mama mengerutkan keningnya.

“Shasa kangen ingin ditemani mama. Sekali ini saja deh, Ma, ya..ya..ya..” Shasa mengeluarkan jurus rayuannya.

“Sekali ini saja loh, Sha,” mama menegaskan.

Shasa melonjak dan memeluk mama. Hmmm.. Besok mama pasti senang ketika bangun pagi sarapannya sudah tersedia.

Keesokan paginya sebuah tepukan dan ciuman membangunkan Shasa.

“Ayo bangun sayang.. Nanti kesiangan loh..” sebuah suara lembut terdengar.

Shasa membuka matanya. Dilihatnya mama sedang tersenyum memandangnya. Shasa mengucek-ngucek matanya. Direntangkannya tangannya dan diputarnya badannya ke kiri dan ke kanan. Sesuatu tiba-tiba menyentakkannya. Mengapa mama yang membangunkannya? Bukankah seharusnya papa yang membangunkan dirinya dan bersama-sama mereka akan mengucapkan selamat ulang tahun untuk mama?

Setelah mama keluar dari kamarnya, Shasa berlari menuju kamar orangtuanya. Dibukanya pintu kamar dan dilihatnya papa masih berbaring di tempat tidur. Shasa menarik selimut yang menutupi papa. Ditepuk-tepuknya pipi papa.

“Pa.. Papa.. bangun dong.. Rencana kita gagal nih, Pa,” Shasa menarik selimut yang menyelimuti papa. Dilihatnya mata papa mulai bergerak-gerak.

“Aduh papa.. sarapannya bagaimana?” Shasa menggoyang-goyangkan tubuh papanya.

Papa terduduk dengan terkejut.

“Lohh.. kenapa alarmnya tidak berbunyi ya, Sha?” tanya papa bingung. Mereka berpandangan. Sama-sama tidak tahu harus bagaimana.

Mama muncul di pintu kamar dan memandang mereka berdua dengan heran.

“Kalian bukannya Sholat Subuh kok malah bengong di tempat tidur?” tanya mama.

Papa dan Shasa berpandangan.

“Semalam Papa menyalakan alarm tapi kenapa tidak berbunyi ya?” tanya Papa bingung.

“Oohh.. Alarmnya berbunyi tapi berhubung mama lihat papa tidak terbangun ya mama matikan. Lagipula Mama lihat baru pukul setengah lima pagi.” kata mama.

“Memangnya ada apa sih?” tanya mama sedikit bingung.

“Rencananya papa mau bangun pagi dan menyiapkan sarapan buat mama. Hari ini mama kan berulang tahun. Tapi ternyata papa malah bangun kesiangan,” kata Shasa sambil memandang sebal ke arah papa.

“Habis alarmnya bunyinya berbisik sih jadi tidak terdengar oleh Papa,” kilah Papa. Mama tertawa kecil mendengarnya. Ada-ada saja Papa ini masa’ alarm bisa berbisik.

“Selamat Ulang Tahun, Ma,” Papa berkata sambil menghampiri mama dan mencium pipi mama.

Shasa tidak mau kalah. Diciumnya kedua pipi mama.

“Terima kasih Papa. Terima kasih Shasa sayang. Buat Mama, kalian ingat ulang tahun Mama sudah merupakan kejutan yang indah,” kata mama sambil memeluk Shasa.

“Sekarang lekas Sholat Subuh. Setelah itu Shasa mandi dan sarapan,” perintah mama.

Sebelum mengambil air wudhu, Shasa sempat melihat menu sarapannya. Roti bakar meises dengan parutan keju dan susu kental. Uhmm.. Mantap!!

“Gara-gara alarm berbisik, Shasa gak jadi deh menikmati roti bakar buatan Papa,” komentar Shasa membuat mama tertawa lepas sementara papa tersipu malu.

Untuk Pak Guru

Bondan sedang mengumpulkan mangga-mangga perolehannya di kebun ketika Parto mencarinya.

" Hai, Bondan !", seru Parto seraya menghampirinya.

" Hai... Sudah siapkah kamu, To? "

" Tentu sudah. Saya bawa jambu".

" Bagus. Sekarang bantu aku dulu mencuci mangga-mangga ini di sumur. Dan yang pecah itu bisa kamu makan."

Kedua sahabat itupun lalu membawanya ke sumur dan mencucinya. Ada sebelas biji mangga besar-besar dan tiga yang pecah.

" Nymm.... tentu Pak Joko nanti akan senang hatinya dengan buah-buah bawaan kita ini ya, Bon,"

celoteh Parto sambil menyantap mangga yang telah dibubuhi garam itu.

" Mudah-mudahan beliau lekas sembuh, dan bisa mengajar kita lagi."

" Dan mudah-mudahan juga, kelak bila kita ulangan diberi nilai delapan."

" Hush, ngawur saja kamu! Itu tandanya kamu tidak ikhlas dengan apa yang kamu sampaikan padanya. Seperti pepatah: ada udang di balik batu."

" He-he-he.... kalau udangnya di balik rempeyek memang aku suka, Bon."

Pak Joko adalah guru olah raga Bondan dan Parto. Pagi tadi beliau tidak bisa hadir di sekolah, diberitakan mengalami musibah kecelakaan lalu lintas. Tapi tidak parah. Hanya sikunya sedikit lecet, dan butuh istirahat untuk ketenangan.

Bondan dan Parto yang tidak seberapa jauh rumahnya dengan tempat tinggal Pak Joko, hari itu telah bersepakat menjenguknya.

Maka setelah semuanya beres di kemas, kedua sahabat itupun berangkat dengan berboncengan menaiki sepeda Parto.

" Aku berani bertaruh, Bon... kitalah nanti yang menjadi murid kesayangan Pak Joko. Soalnya kitalah yang mau menjenguknya."

" Huh, kamu To.... To. Disayangi atau tidak itu tergantung sikapmu. Kalau kamu rajin belajar dan tidak mbolosan, tentu tak hanya Pak Joko yang sayang padamu. Tapi semua guru dan bahkan semua murid akan baik padamu."

Setiba di tempat kediaman Pak Joko ternyata sudah ada teman-temannya yang lain yang juga menjenguk Pak Joko. Antara lain Norman, Slamet, Ucok dan Haris.

" Wah, Bon, kita kedahuluan !" bisik Parto.

" Mangkanya.... jangan sok !"

Bondan dan Parto diterima dengan baik oleh Pak Joko.Juga beliau mengucapkan terimakasih atas oleh-olehnya. Namun sebentar kemudian, datang lagi rombongan murid yang lain yang juga mau menjenguk Pak Joko. Di antar oleh seorang Ibu Guru, teman Pak Joko, sebagai wakil dari sekolah.

Terpaksa Pak Joko menggelar sejumlah tikar untuk menerima kehadiran tamu-tamu kecil, muridnya itu.

Karena, tempat duduk tidak mencukupi. Mereka semua akhirnya duduk melingkar di tikar. Semua bawaan murid-murid, sengaja ditaruh di tengah-tengah oleh Pak Joko. Persis orang mau bancaan.

" Sebelumnya saya panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa," demikian Pak Joko memulai sambutannya.

" Saya merasa, kecelakaan kecil yang menimpa saya ini, membawa berkah. Kebetulan sekali tepat hari ini adalah hari ulang tahun saya. Maka hari ini pulalah saya merayakannya dan dengan saya beri tema bah-wa-kah, yang artinya: musibah yang membawa berkah...."

Riuh tawa memenuhi segenap ruangan. Jadinya acaranya berubah menjadi acara bahagia. Dengan hidangan yang telah di bawa sendiri oleh murid-murid itu. Maka sambil bertepuk tangan, mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk pak guru. Pak Joko, mengucapkan terimakasih kepada semuanya.

" Wah, Bon, ya baru kali ini aku menjumpai acara 'bahwakah'," ujar Parto sepulang dari menghadiri Ul-Tah pak gurunya.

" Itulah keberuntungan namanya.... Yang dianugerahkan Tuhan kepada orang yang mau bersyukur."

Pengantar Susu Bertopi Merah

Bertopi MerahSebuah sepeda berhenti di depan rumah Shasa. Pengemudinya yang bertopi merah mengambil sesuatu dari kotak yang terikat di boncengan sepeda. Dua kantong susu kedelai diulurkan ke arah Shasa yang kebetulan sedang berdiri di halaman luar rumahnya.

“Loh, kok bukan Bang Momo yang mengantar susu?” tanya Shasa manakala dilihatnya pengantar susu itu bukanlah orang selama ini mengantar susu kedelai ke rumah Shasa.

“Sekarang setiap hari Sabtu dan Minggu khusus untuk sektor perumahan ini saya yang mengantar,” pengantar susu itu menjelaskan dengan nada suara yang terdengar sedikit gugup. Letak topinya membuat wajahnya tidak terlihat jelas.

Shasa tidak bertanya lebih lanjut. Dibawanya dua buah kantong susu kedelai itu ke dalam rumah. Sekilas dilihatnya pengantar susu itu memandangnya namun buru-buru memalingkan wajahnya ketika mereka bertatapan. Shasa yang baru saja akan melangkah ke dalam rumah mendadak berpaling ketika didengarnya pengantar susu itu mengatakan sesuatu. Shasa mengerutkan keningnya. Kok sepertinya dia tadi mendengar pengantar susu itu berpamitan dengan memanggil namanya ya? Atau itu hanya perasaannya saja?

Esok harinya, pengantar susu itu datang tepat ketika Shasa sedang menyapu daun-daun pohon mangga yang berguguran.

“Ana, ini susunya!” sapaannya membuat Shasa menolehkan kepalanya.

“Kok kamu tahu namaku?” tanyanya heran. Hampir semua temannya memanggilnya Shasa. Hanya beberapa orang saja yang memanggilnya Ana.

“Eh, oh, ngg.. anu.. aku.. aku diberitahu Bang Momo,” jawabnya gugup.

Shasa menerima susu yang diulurkannya. Anak itu menundukkan kepalanya dan terburu-buru memutar sepedanya dan mengayuh menjauh. Shasa menatap laju sepeda yang menjauhinya sambil sibuk berfikir-fikir. Rasa-rasanya ia seperti mengenal pengantar susu itu tapi dimana ya? Hmm.. ia harus menunggu sampai tiba hari Sabtu untuk bisa bertemu pengantar susu itu. Bukankah kemarin ia mengatakan bahwa ia hanya mengantar susu setiap hari Sabtu dan Minggu?

Hari Sabtu minggu berikutnya, Shasa sedang bersepeda bersama papa ketika sebuah sepeda melaju mendahuluinya. Sepeda pengantar susu! Cepat-cepat Shasa mengayuh sepedanya. Berusaha agar ia bisa tiba di rumah bersamaan dengan si pengantar susu. Namun rupanya pengantar susu itu tahu niat Shasa. Ia mengayuh sepedanya semakin cepat.

Mama yang berada di luar pagar menatap heran ketika dua buah sepeda berhenti hampir bersamaan. Pengemudinya sama-sama terengah-engah.

“Loh, ada apa ini? Balapan sepeda?” tanya mama heran. Rupanya mama memperhatikan peristiwa yang terjadi sejak dari ujung jalan.

“Ini.. ini.. susunya, Tante,” kata pengantar susu itu masih dengan nafas memburu. Setelah mama mengambil susu yang disodorkannya, buru-buru ia menaiki sepedanya.

“Hei, tunggu dulu, nama kamu siapa?” Shasa bertanya.

Bukannya menjawab, pengantar susu itu mengayuh sepedanya dengan terburu-buru.

“Ada apa sih, Sha?” tanya mama bingung.

“Rasa-rasanya Shasa kenal dia, Ma, tapi dimana ya?” Shasa menjawab setengah bergumam sambil mengernyitkan keningnya.

“Kalau tidak salah, Bang Momo pernah bercerita kalau ia mempunyai seorang adik yang tinggal bersama neneknya di kampung halaman mereka. Mungkin dia itu adiknya Bang Momo yang sekarang tinggal disini,” kata Mama.

Shasa mendengarkan kata-kata mama sambil sibuk menggali ingatannya kenapa rasanya ia mengenal pengantar susu itu.

Esok paginya, Shasa sedang berdiri memperhatikan pohon sirsak yang sedang berbuah ketika terdengar seruan yang bernada peringatan.

Ulat Bulu“Awas, Na, ada ulat bulu di bajumu.”

“Hah?! Ulat?! Hiii..” kontan Shasa berteriak-teriak sambil melompat-lompat.

Mama dan papa yang mendengar teriakannya bergegas menghampiri. Namun mereka keduluan pengantar susu yang dengan sigap menepis ulat bulu itu dari baju Shasa di bagian belakang dengan menggunakan daun kering.

“Sudah.. sudah.. ulatnya sudah tidak ada,” kata mama berusaha menenangkan Shasa.

“Ulatnya sudah kabur, Na,” pengantar susu itu tersenyum melihat tingkah Shasa.

Sekilas lesung pipinya terlihat. Shasa yang masih melompat-lompat kegelian tertegun. Dilihatnya pengantar susu itu memutar arah sepedanya dan mulai mengayuh menjauh.

Keesokan harinya ketika jam istirahat sekolah tiba, Shasa menghampiri Idham yang asyik mendengarkan cerita Fabian sambil tersenyum.

“Hai..” sapanya. Kedua anak itu menoleh dengan terkejut terutama Idham.

“Makasih ya, kemarin kamu sudah menolongku dari ulat bulu.” Kata-kata Shasa membuat anak itu tertegun. Lesung pipinya yang sebelumnya terlihat mendadak hilang.

Shasa cekikikan. “Yang mengantar susu ke rumahku hari Sabtu dan Minggu itu kamu kan?”

“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanyanya pelan. Fabian hanya terdiam kebingungan.

“Ya tahu dong.. Tidak banyak yang memanggilku dengan nama panggilan Ana. Hampir semua teman-temanku mengikuti nama panggilanku di rumah. Lagipula diantara yang sedikit itu hanya kamu yang mempunyai lesung pipi.”

Idham hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia memang belum lama pindah sekolah setelah sebelumnya ia tinggal bersama neneknya.

Susu KedelaiSebenarnya tugas mengantar susu kedelai adalah tugas kakaknya. Ia sendiri yang berinisiatif menggantikan tugas kakaknya setiap hari Sabtu dan Minggu.

Tak dinyana salah satu pelanggan susu kedelai buatan ibunya adalah teman sekelasnya.

Dilihatnya Anastasia Shafarina tersenyum penuh kemenangan. Gara-gara salah panggil nama, ketahuan deh identitas pengantar susu bertopi merah…

Lemper Jepang

Biasanya kalau hari Minggu, Shasa suka bermalas-malasan. Bangun tidurnya sih tetap subuh tetapi setelah itu kembali tidur-tiduran sambil menonton film kartun kesukaannya. Mandi pagi? Wahh.. Mama sampai harus berulangkali menyuruh mandi baru deh Shasa mau mandi.

Hari Minggu ini ada yang berbeda. Pagi-pagi Shasa sudah mandi dan sarapan. Ada apa gerangan?

Ternyata hari ini papa akan mengajak mama dan Shasa ke toko buku. Kata papa, Shasa boleh membeli buku cerita kesukaannya dua buah. Setelah itu mereka akan makan siang di restoran.

Seperti yang dijanjikan, jam sepuluh pagi mereka pergi ke mall.

“Waahh.. besar sekali toko bukunya,” gumam Shasa terkagum-kagum. Koleksi buku anak-anaknya pun banyak sekali. Beberapa menit kemudian Shasa sudah asyik memilih-milih buku bacaan. Sesekali pandangannya beralih ke deretan rak yang memajang novel dewasa. Hanya untuk memastikan mama ada di sana. Sama seperti dirinya, mama juga tampak asyik memilih-milih buku.

“Habis ini kita mau ke mana, Pa?” tanya Shasa ketika selang satu jam kemudian mereka melangkah keluar dari toko buku.

“Papa mau mengajak Shasa makan Sushi,” jawab papa.

sushi“Apaan tuh Sushi?” Shasa kembali bertanya.

“Sushi itu makanan jepang terbuat dari nasi yang digulung dan diberi isi di bagian tengahnya. Ada yang isinya ikan, belut, daging atau yang lainnya.” Mama menjelaskan.

"Ooo..” Shasa mengangguk-anggukkan kepalanya. “Seperti lemper ya, Ma?”

lemper“Iya. Bedanya kalau lemper terbuat dari ketan sementara Sushi terbuat dari nasi. Lemper dibungkus daun pisang sementara beberapa jenis Sushi dibungkus Nori.”

“Nori? Apaan lagi tuh? Kok seperti nama teman Shasa?” Shasa kembali bertanya.

Mama dan papa tertawa mendengarnya. “Nori itu lembaran tipis berwarna hitam terbuat dari rumput laut,” kata mama. Shasa kembali mengangguk-anggukkan kepalanya.

Di restoran, Shasa memesan Unagi Sushi yaitu Sushi yang berisi potongan belut. Shasa memang suka makan belut.

“Gimana, Shasa suka gak makan Sushi?” tanya papa setelah mereka selesai bersantap.

Shasa menggelengkan kepalanya.

“Lohh.. kenapa?” tanya papa lagi.

“Habis makannya harus pakai sumpit sih,” jawab Shasa. “Shasa kan gak bisa pakai sumpit.”

Mama dan papa tertawa mendengarnya.

“Kalau Shasa gak bisa pakai sumpit kan bisa pakai sendok dan garpu,” kata papa.

“Iya sih.. tapi Shasa lebih suka lemper Indonesia dibanding lemper Jepang. Pokoknya lemper Indonesia itu mak nyuuusss..” Shasa menjawab sambil mengacungkan dua jempol ke arah papa. “Lagian Shasa kan cinta makanan Indonesia.”

“Iya deehh..” kata mama dan papa serempak sambil tertawa.

Betul juga apa yang dikatakan Shasa. Kalau bukan kita yang mencintai makanan Indonesia, siapa lagi?